Sumber: http://bola.kompas.com/read/2012/04/...Riwayatmu.Kini.

Quote:

KOMPAS.com - Akhir abad ke-19, bermodalkan semangat persatuan dan kesatuan, sejumlah pemuda Nusantara mencari cara menggalang semangat nasionalisme bangsa. Di kala kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang semakin menjadi ketika kolonialisme Belanda mengerogoti kesejahteraan Nusantara, rakyat Indonesia berjuang untuk membentuk sebuah perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Di tengah keadaan itu dan hiruk pikuk ideologi besar seperti komunisme, nasionalisme, hingga sosialisme, kemudian munculah pencerahan, bernama sepak bola. Ibarat di zaman Aukflarung yang mengobarkan semangat masyarakat Eropa pada abad ke-18, olahraga itu bertansformasi tidak hanya menjadi produk kebudayaan, tetapi menjadi produk politik, yang di dalamnya terkait erat soal identitas dan spirit kebangsaan atau nasionalisme Indonesia.

Seperti beberapa ideologi besar itu, sepak bola pun tumbuh menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Karena, di zaman itu tak jarang diskriminasi kelas terjadi hingga merambah dalam urusan sepak bola yang menjadi olahraga populer di Hindia Belanda. Klub-klub pribumi dilarang tampil melawan klub Eropa. Untuk menumpang bermain di lapangan milik Belanda, pemuda Nusantara pun harus rela kehilangan asa.

Atas dasar itulah, pada 19 April 1930, lahir Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (sekarang PSSI) sebagai puncak keresahan masyarakat pribumi terhadap perlakukan diskriminatif yang menyakitkan hati. Apalagi, ketika itu, pemerintah kolonial hanya memperhatikan bond-bond Belanda dan anggota pemain kulit putih dalam perkumpulan yang dikenal sebagai Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB).

Dalam konteks ini, jelas PSSI lahir tidak hanya dijadikan sebagai protes atas sikap disriminasi tersebut, melainkan sebagai simbolisasi perjuangan bangsa dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan Indonesia. Maka tidak heran pula para politikus dan pejuang pergerakkan bangsa kemudian berubah menjadi sosok penting dalam urusan sepak bola. Ikrar sumpah pemuda dijadikan ikatan batin bagi mereka dan sejumlah pemain di lapangan hijau.

Pahlawan

Salah satu contoh bentuk perjuangan itu dapat kita dari kegigihan sang pendiri PSSI, Ir Soeratin Sosrosoegondo. Lulusan insinyur lulusan Jerman itu terus menggunakan sepak bola sebagai wadah meningkatkan nasionalisme bangsa. Bersama salah satu penggagas sumpah pemuda, Dr.Soetomo, Soeratin beberapa kali mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung untuk menyalurkan gagasannya itu. Ia pun rela keluar dari perusahaan konstruksi besar milik Belanda demi mengurusi sepak bola Nusantara.

Belum lagi, kisah Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Husni Thamrin hingga Tan Malaka yang juga pernah mengobarkan api semangat lewat sepak bola. Mereka tidak hanya menjadi penggemar, melainkan menjadi pesepak bola tangguh. Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, dan Demokrat Sejati menyebut bahwa Sjarir adalah gelandang tengah yang hebat. Seperti Bung Hatta, ia pun sempat menjadi anggota klub sepak bola bernama LUNO (Laat U Niet Overwinnen) di Bandung.

Tan Malaka dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan karangan Arif Zulkifli disebut sebagai pemain sepak bola lincah yang memiliki tendangan kencang. Selama tinggal di Harleem pada 1914-1916, ia pun pernah menjadi pemain profesional klub Viugheid Wint. Bahkan, ketika dalam kondisi sakit karena sering terluka lantaran kakinya tak bersepatu, nafsu bermain sepak bola Tan Malaka pun tidak padam.

Muhammad Husni Tamrin, seorang politikus Volkraad atau Dewan Rakyat juga dikenal sebagai pecandu sepak bola. Dalam Ensiklopedi Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa disebutkan pada 1932, Thamrin pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden untuk mendirikan lapangan sepak bola bernama Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Letak lapangan yang ada di daerah Kwitang, Jakarta itu pun menjadi tempat pertama yang dibangun untuk rakyat pribumi menyalurkan hobinya bermain sepak bola.

Lapangan itu kemudian menjadi, tempat pelaksanaan Kejuaraan Nasional II PSSI. Di pertandingan puncak yang mempertemukan VIJ melawan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Soekarno, untuk melakukan tendangan pertama petanda dibukanya pertandingan tersebut. Setelah itu, pribumi pun bisa bergembira, karena sepak bola kemudian mengubah keputus-asaan menjadi gelora semangat Indonesia. Sembari menuju gerbang kemerdekaan, Nusantara pun perlahan mulai unjuk gigi melalui sepak bola kepada dunia.

Tinta emas

Awal mula tinta emas kesuksesan bermula ketika digulirkannya kompetisi kejuaraan nasional PSSI ke III pada 1938 di Surabaya. Saat itu, pribumi yang bargabung di VIJ berhasil mempermalukan Soerabajasche Indonesische Voetball Bond (SIVB) yang memakai sejumlah bintang dari NIVU (pengganti NIVB) dengan skor 2-1. Takjub melihat kelincahan pribumi yang tanpa alas kaki memainkan kulit bundar, NIVU akhirnya memutuskan bekerja sama dengan PSSI pada 15 Januari 1937,

Berkat kerjasama yang dikenal sebagai Gentlemen's Agreement itulah, Nusantara kemudian mendapatkan kesempatan untuk tampil di Piala Dunia 1938 di Perancis. Dunia pun semakin kagum setelah PSSI dengan punggawanya yakni Tan Malaka, Maladi, Djawad, dan kawan-kawan mampu menahan imbang 2-2 kesebelasan dari China, Nan Hwa, yang sebelumnya mengalahkan Belanda 4-0, di pertandingan internasional pada 15 Agustus 1937.

Meski di Piala Dunia, Nusantara harus rela dipermalukan 0-6 oleh Hungaria, tidak ada kata putus asa menyinggapi pesepak bola Indonesia. Mereka terus berbenah, hingga menjadi pionir bagi daratan Asia untuk mengenal olahraga yang begitu digandrungi di Eropa itu. Indonesia kemudian mampu berbangga diri di kawasan Asia Tenggara hingga daratan Korea. Prestasi pun terus menghinggapi generasi emas di tingkat pemain muda hingga senior.

Tercatat setidaknya puluhan prestasi dapat diraih Indonesia. Di tiga kali penampilannya dalam kejuaraan Piala Asia Yunior, Indonesia berhasil menjadi juara pada 1962, dan dua kali runner up pada 1967 dan 1970. Dalam Kejuaraan Pelajar Asia, bahkan pemuda Indonesia mampu meraih tiga gelar berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.

Prestasi itu kemuduan berlanjut ke tingkat senior. Di kejuaraan Asian Games pada 1958, Indonesia mampu meraih medali perunggu untuk pertama kalinya setelah menyingkirkan India dengan skor telak 4-1. Dalam turnamen Sea Games, era 1980 hingga 1990-an, Indonesia pun dapat dibilang cukup sukses, karena mampu meraih medali emas pada 1987 dan 1991. Indonesia pun berkali-kali membungkam sejumlah negara besar Asia, seperti Taiwan, Hongkong, Jepang dan Korea Selatan.


...bersambung ke bawah ya Gan

reirahadian 19 Apr, 2012